Akbid Siti Khodijah

Akbid Siti Khodijah
Akbid Siti Khodijah

Rabu, 10 September 2014

MAKALAH MUTU PELAYANAN KEBIDANAN “Pelayanan Barang dan Jasa”

MAKALAH MUTU PELAYANAN KEBIDANAN
“Pelayanan Barang dan Jasa”











Pembimbing :
Dr. Zainul Arifin
 Disusun oleh :
·       Andika Candra Ayundari
·       Diah Rahmawati
·       Nur Hidayati
·       Putri Nur Ilviana
·       Rosita Dewi


AKADEMI KEBIDANAN SITI KHODIJAH MUHAMMADIYAH
SEPANJANG – SIDOARJO

2012- 2013


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya pada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “mutu pelayanan barang dan jasa”
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah SWT selalu meridhoi segala urusan kita. Amiin
Wassalamu’alaikum wr.wb.

                                                                                                Sidoarjo, 16 Agustus 2014

                                                                                    Penyusun









BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Globalisasi mempertinggi arus kompetisi disegala bidang termasuk bidang kesehatan dimana perawat dan bidan terlibat didalamnya.Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, maka setiap organisasi dan semua elemen-elemen dalam organisasi harus berupaya meningkatkan mutu pelayanannya secara terus menerus.
Kecenderungan masa kini dan masa depan menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyadari pentingnya peningkatan dan mempertahankan kualitas hidup (quality of life). Oleh karena itu pelayanan kesehatan yang bermutu semakin dicari untuk memperoleh jaminan kepastian terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan untuk mempertahankan kualitas hidup, maka customer akan semakin kritis dalam menerima produk jasa, termasuk jasa pelayanan kebidanan, oleh karena itu peningkatan mutu kinerja setiap bidan perlu dilakukan terus menerus.
Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu banyak upaya yang dapat dilaksanakan.Upaya tersebut jika dilaksanakan secara terarah dan terencana ,dalam ilmu administrasi kesehatan dikenal dengan nama program menjaga mutu pelayanan kesehatan (Quality Assurance Program ).

1.2    Tujuan
Tujuan umum
Terselenggaranya pelayanan kesehatan dasar yang bermutu dan memuaskan dalam rangka terwujudnya peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.



Tujuan khusus
1.      Memberikan penjelasan tentang kualitas atau mutu pelayanan kesehatan Memberikan informasi tentang sejauh mana pelayanan kesehatan Untuk mengetahui beberapa aspek yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan










BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan dapat didefinisikan dalam banyak pengertian. Azwar (2010:46) menyatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan penampilan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik profesi standar yang telah ditetapkan.
Selain pengertian tersebut secara sederhana melukiskan hakekat mutu menurut beberapa ahli seperti yang dikutip Azwar (2010:55)  :
1.      Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang sudah diamati ( Wnston Dictionary, 1956 )
2.      Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu progam ( Donabedian,1980 )
3.      Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang didalamnya terkandung pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna ( DIN ISO 8402, 1986 )
4.      Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984)
Selain itu definisi mutu diatas, Al-Assaf (2009:16) juga menyampaikan definisi mutu menurut para ahli :
1.      Mutu adalah melakukan hal yang benar sejak pertama kali dan melakukannya lebih baik lagi pada saat berikutnya (A-Assaf:1993)
2.      Mutu adalah suatu tahap saat pelayanan outcame pasien yang optimal (American Medical Association, 1991)
3.      Mutu adalah memenuhi persyaratan yang diminta konsumen, baik konsumen internal maupun kesternal, dlam hal layanan dan produk yang bebas cacat (IBM, 1982)
4.      Mutu merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, baik internal maupun eksternal. Mutu juga dapat dikaitkan sebagai suatu proses perbaikan yang bertahap dan terus menerus (Al-Assaf:1998)




2.2   Karakteristik pelayanan jasa menurut Suprianto dan Ernawaty (2010:11-13)
1.      Tidak Berwujud (intangible)
Jasa tidak dapt dilihat, dikecap, dirasakan, didengar, dicium, atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi atau diproduksi. Jasa adalah perbuatan, kinerja atau usaha yang bisa dikonsumsi tapi tidak bisa dimiliki. Konsep intangible memiliki dua pengertian :
a.       Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat diraba
b.      Sesuatu yang tidak dapat dengan mudah didefinisikan. Diformulasikan atau dipahami secara rohaniah
2.      Heterogen (Variability)
Jasa sangat bervariasi karena hasil tidak berstandart, artinya banyak variasi bentuk, kualiatas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Para pembeli sangat peduli dengan variability ini dan sering mereka meminta pendapat orang lain sebelum meutuskan untuk memilih. Jasa yang diberikan pada klien yang satu bisa berbeda dengan klien yang lain meskipun diagnostik penyakitnya sama.
3.      Tidak Dapat Dipisahkan (inseparability)
Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat proses berjalan, artinya hasil suatu jasa pelayanan sulit dipisahkan dengan prosesnya atau sumber pelayanan, dengan kata lain produksi dan konsumsi terjadi secara serentak. Konsekuensi ini akan terjadi keterbatasan orang yang dilayani. Pasien sakit setelah diperiksa dan diberi obat tidak langsung sembuh, perlu waktu untuk itu.
4.      Tak Dapat Disimpan (imperishability)
Barang tidak dapat tahan lama, dapat disimpan bahkan dapat dijual kembali, sedangkan jasa tidak mungkin disimpan sebagai investasi atau diulang. Produk jasa pelayanan adalah orangnya itu sendiri. Pelayanan tidak bisa dipisahkan dengan sumbernya atau yang memberi pelayanan atau dokternya.
Khusus untuk jasa pelayanan rumah sakit perlu pertimbangan ciri karakteristik yang lain, seperti organisasi yang padat modal dan padat karya, umunya pasien tidak banyak tahu akan jasa yang akan dibeli (customer ignorance), dan kompetisi tidak diperkenankan.
Faktor yang digunakan konsumen untuk mengukur kualitas jasa adalah outcame, process dan image jasa tersebut. Menurut Gronroos sebagaimana dikutip Muninjaya (2011:8-9), ketiga kriteria tersebutdijabarkan menjadi 6 unsur :
1.      Profesionalisme dan skill
Dibidang pelayanan kesehatan, kriteria ini berhubungan dengan outcame yaitu tingkat kesembuhan pasien. Pelanggan menyadari bahwa jasa pelayanan kesehatan dihasilakan oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan profesional yang berbeda. Institusi penyedia pelayanan kesehatan harus menjamin reputasi dokter dan petugas lainnya yang bekerja pada institusi pelayanan kesehatan tersebut.
2.      Attitudes and Behavior
Kriteria sikap dan perilaku staff akan berhubungan dengan proses pelayanan. Pelanggan institusi jasa pelayanan kesehatan akan merasakan kalau dokter dan paramedis rumah sakit sudah melayani mereka dengan baik sesuai standart prosedur operasional pelayanan. Situasi ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku positif staf yang akan membantu para pengguna pelayanan kesehatan mengatasi keluhan sakitnya.
3.      Accesbility and Flexibility
Kriteria ini berhubungan dengan proses pelayanan. Pengguna jasa pelayanan akan merasakan bahwa institusi penyedia pelayanan jasa, lokasi, jam kerja, dan sistemnya dirancang dengan baik untuk memudahkan para pengguna mengakses pelayanan sesuai dengan kondisi pengguna jasa (fleksibilitas), yaitu disesuaikan dengan keadaan sakit pasien, jarak yang harus ditempuh, tarif pelayanan, dan kemampuan ekonomi pasien atau keluarga untuk membayar tarif pelayanan.
4.       Reliability and Trusworthiness
Kriteria ini berhubungan dengan proses pelayanan. Pengguna jasa pelayanan bukan tidak memahami resiko yang mereka hadapi jika memilih jasa pelayanan yang ditawarkan oleh dokter. Paisen dan keluarganya sudah mempercayai sepenuhnya dokter yang akan melakukan tindakan karena pengalaman dan reputasinya.
5.      Recovery
Kriteria penilaian ini juga berhubungan dengan proses pelayanan. Pelanggan memang menyadari kalau ada kesalahan atau resiko akibat tindakan medis yang diambil, tetapi para pengguna jasa pelayanan mempercayai bahwa institusi penyedia jasa pelayanan sudah mulai perbaikan (recovery) terhadap mutu pelayanan yang ditawarkan kepada publik untuk mengurangi resiko medis yang akan diterima pasien.
6.      Reputation and Credibility
Kriteria ini berhubungan dengan image. Pelanggan akan meyakini benar bahwa institusi penyedia jasa pelayanan memang meiliki reputasi baik, dapat dipercaya, dan punya nilai (rating) tinggi di bidang pelayanan kesehatan. Kepercayaan ini sudah terbukti dari reputasi pelayanan yang sudah ditunjukkan selama ini oleh institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan ini.
2.3  Pengukuran Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut Donabedian sebagaimana dikutip Mulyadi (2001:1-2), pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan 3 variabel :
1.      Input (struktur) yaitu segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kesehatan, sperti tenaga, dana, obat fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayananan kesehatan adalah dalam perencanaan dan penggerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2.      Proses ialah interaksi profesional antara pemberi layanan dengan konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variabel penilaian mutu yang penting.
3.      Output/outcame ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
2.4  Merencanakan jasa pelayanan kesehatan yang dibutuhkan pasien/pelanggan
1.      Identifikasi Kebutuhan
Sebelum menentukan kebutuhan pelayanan kesehatan, lebih dahulu diketahui siapa yang menjadi sasaran (konsumen) yang akan dilayani. Pada umumnya pelanggan yang dilayani setiap petugas kesehatann adalah semua orang atau organisasi/unit kerja yang berinteraksi, berhubungan dan mengharapkan sesuatu keprluan kebutuhannya sesuai dengan pekerjaan sebagai petugas kesehatan. Pasien mengharapkan petugas kesehatan dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan karakteristik, kualitas tertentu atau standart yang sudah ditetapkan
2.      Memahami kebutuhan pelanggan
Dalam memahami kebutuhan pelanggan yang sesuai dengan ekspektasi mereka , ada 2 pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu: komunikasi (3 cara) dan benchmarking (1 cara). Dengan demikian, ada 4 cara memahami kebutuhan pelanggan/konsumen/ masyarakat, yaitu;
a.       Reaktif
Memahami kebutuhan pelanggan secara reaktif adalah dengan mendengar keluhan pelanggan. Jika ada keluhan baru bereaksi menanggapi. Pendekatan ini kurang efektif dalam menciptakan pelayanan yang meuaskan konsumen secara berkesinambungan.
b.      Aktif
Memahami kebutuhan pelanggan secara aktif adalah dengan menjawab setiap ada pertanyaan pelanggan atau masyarakat yang datang ke pelayanan kesehatan dan menawarkan jasa yang disediakan. Cara ini kurang efektif, karena tujuannya baru pada tingkat mendengar secara aktif, belum menggali apa harapan konsumen yang datang ke pelayanan kesehatan.
c.       Proaktif
Memahami kebutuhan pelanggan secara proaktif adalah aktif menjaring informasi tentang harapan konsumen/pasien, melalui wawancara, survai. Penyedia jasa ini seolah-olaah memposisikan diri sebagai pelanggan. Pendekatan proaktif ini sangatlah efektif jika diterapkan pada penyedia jasa pelayanan kesehatan.
d.      Benchmarking
Memahami kebutuhan pelayanan dengan benchmarking  suatu proses pengukuran pelayanan yang diberikan secara terus-menerus  dengan cara membandingkan pelayanan terbaik dari instansi lain.
3.      Memproses Jasa Pelayanan
Setiap pekerjaan mempunyai hasil atau mengarah pada pencapaian tujuan. Tuntutan terhadap setiap pekerjaan bukan hanya hasi atau produk barang dan jasa, tetapi yang dihasilkan itu bermutu, dapat memuaskan konsumen dan efisien. Sehingga memiliki daya saing dalam kualitas dan harga.














BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Mutu pelayanan dapat didefinisikan dalam banyak pengertian. Azwar (2010:46) menyatakan bahwa mutu pelayanankesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan penampilan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik profesi standar yang telah ditetapkan.
Karakteristik pelayanan jasa menurut Suprianto dan Ernawaty (2010:11-13) yaitu, Tidak Berwujud (intangible), Heterogen (Variability), Tidak Dapat Dipisahkan (inseparability), Tak Dapat Disimpan (imperishability). Pengukuran Mutu Pelayanan Kesehatan ada 3 macam yaitu : Input (struktur), Proses, Output/outcame
3.2  Saran
Setelah mengetahui tentang pelayanan barang dan jasa, kami sebagai penulis mengharapkan agar para pembaca lebih mengetahui tentang pelayanan brang dan jasa. Oleh karena itu,saya sebagai penulis meminta kritik dan saranya untuk menyempurnakan makalah yang saya buat.

















DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Asrul. (2010). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Mulyadi, Bagus.(Ed).(2001). Petunjuk Pelaksanaan Indikator  Mutu Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta : Wold Health Organization – Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.
Muninjaya, Gde. (2011). Manajemen Mutu Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Supriyanto dan Ernawaty. (2010). Pemasaran Industri Jasa Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Andi








Selasa, 02 September 2014

AKI di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2003). Berdasarkan SDKI 2007 Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu dari 390/100.000 kelahiran hidup (1992) menjadi 334/100.000 kelahiran hidup (1997). Selanjutnya turun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2008). Meskipun telah terjadi penurunan dalam beberapa tahun tarakhir akan tetapi penurunan tersebut masih sangat lambat (Wilopo, 2010).
Angka Kematian Ibu di Indonesia bervariasi, Provinsi dengan Angka Kematian Ibu terendah adalah DKI Jakarta dan tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Profil Kesehatan 2009). Separuh dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. Dua pertiga dari semua kasus perdarahan pascapersalinan terjadi pada ibu tanpa faktor risiko yang diketahui sebelumnya, duapertiga kematian akibat perdarahan tersebut adalah dari jenis retensio plasenta, dan tidak mungkin memperkirakan ibu mana yang akan mengalami atonia uteri maupun perdarahan (WHO, 2008). Kondisi kematian ibu secara keseluruhan diperberat oleh “tiga terlambat” yaitu terlambat dalam pengambilan keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan, terlambat dalam mendapatkan pertolongan yang tepat di fasilitas.
Upaya percepatan penurunan angka kematian ibu telah banyak dilakukan, antara lain melalui peningkatan aksessibilitas serta kualitas pelayanan. Upaya peningkatan aksessibilitas pelayanan kesehatan dilakukan dengan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui paket penempatan tenaga bidan dan polindes di berbagai pelosok pedesaan serta tenaga dokter di daerah terpencil atau sangat terpencil. Sedangkan dari aspek kualitas pelayanan, dilakukan melalui upaya peningkatan kemampuan/kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (PONED/PONEK), serta berbagai program intervensi lain (Kemenkes RI, 2008).
Meskipun berbagai upaya tersebut telah dilakukan namun jumlah kasus kematian yang terjadi masih tinggi dan jauh dari target nasional yang diharapkan. Sesuai target Nasional menurut MDGs yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar ¾ dari Angka Kematian Ibu pada tahun 1990 (450 per 100.000) menjadi 102 per 100.000 pada tahun 2015 (Agan et al, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di Pulau Lombok masih perlu mendapatkan penanganan terutama masalah kesehatan ibu. Hal ini terjadi karena intervensi yang diberikan masih bersifat parsial dan pada lokasi tertentu saja, disamping itu juga masih banyak program intervensi yang kurang tepat sasaran.
1.2  Tujuan
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian ibu
2.      Untuk membantu mahasiswa memahami materi“Angka Kematian Ibu”
3.      Untuk memberikan informasi terhadap pembaca tentang materi yang disajikan
1.3  Manfaat
1.      Untuk menambah pengetahuan tentang faktor determinan yang berhubungan dengan kematian ibu
2.      Untuk memahami Materi Indikator Masalah Kesehatan Wanita agar dapat di aplikasikan dalam melakukan pelayanan dan pertolongan yang tepat guna.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Definisi Angka Kematian Ibu (AKI)
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup.
Sedangkan pengertian angka kematian ibu (maternal death) menurut WHO adalah adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera.
Angka kematian ibu  merupakan indikator kesehatan yang cukup penting.  Angka kematian ibu  diketahui dari jumlah kematian karena kehamilan, persalinan dan ibu nifas per jumlah kelahiran hidup di wilayah tertentu dalam waktu tertentu.
Angka   Kematian Ibu mencerminkan resiko yang dihadapi ibu-ibu selama kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh : keadaan sosial ekonomi dan kesehatan menjelang kehamilan, kejadian  berbagai komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, serta tersedianya dan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan obstetric.
Angka Kematian Ibu maternal (AKI) diperoleh melalui berbagai survey yang dilakukan secara khusus seperti survey di Rumah Sakit dan beberapa survey di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas. Dengan dilaksanakannya Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survey Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI), maka cakupan wilayah penelitian AKI menjadi lebih luas dibanding survey-survey sebelumnya. Untuk melihat kecenderungan AKI di Indonesia secara konsisten, digunakan data hasil SKRT.
WHO telah menetapkan sejumlah sistem klasifikasi kematian ibu. Dengan adanya sistem ini, diharapkan akan meningkatkan kewaspadaan, perencanaan tindakan, dan pada akhirnya akan menurunkan angka kematian ibu.



Perbandingan angka kematian ibu di beberapa Negara
Negara
Kematian Ibu / 100.000
Singapura
Malaysia
Thailan
Philipina
Indonesia
Sri Langka
India
Afrika
Amerika Latin
USA, Eropa dan Kanada
5
69
100
142
450
95
630
500-600
300
10

Indonesia dilingkungan ASEAN, merupakan Negara dengan angka kematian Ibu dan Prinatal tertinggi, yang berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu

2.2  Angka Kematian Ibu Tahun 1988 – 2010/2011
Angka kematian ibu dan perinatal merukan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan keluarga berencana suatu negara. Sekitar tahun 1980-an, angka kematian ibu di indonesia masih tinggi, yaitu 390 per 100.000 persalinan hidup. Jika perkiraan persalinan di Indonesia sebesar 5.000.000 orang, akan terdapat sekitar 19.500 – 20.000 atau sejumlah 28.000 orang atau setiap 18 – 29 menit sekali. Karena tingginya angka kematian ibu dan perinatal di indonesia (tertinggi di ASEAN), bidang pelayanan kebidanan masih memerlukan perhatian yang sangat serius. Angka kematian perinatal ibu yang tinggi sebagian besar akibat persalinan dibantu oleh dukun. Dukun beranak memang belum mampu diganti seluruhnya dalam waktu relatif singkat karena masih mendapat kepercayaan dari masyarakat.
AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, Hasil survei demografi Kesehatan Indonesia tahun 1994 menunjukkan angka 390 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada hasil SKRT 1995, angka kematian ibu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup.
 Angka kematian ibu di Indonesia tahun 1997 adalah 334 per 100.000 kelahiran hidup Pada SKRT 2001 tidak dilakukan survey mengenai AKI. Pada tahun 2002-2003, AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dari hasil SDKI dan 300 per 100.000 kelahiran pada tahun 2004. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian maternal di Indonesia mencapai 248/100.000 kelahiran hidup, itu berarti setiap 100.000 kelahiran hidup masih ada sekitar 248 ibu yang meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Sedangkan pada tahun 2010/2011 dari data SDKI terjadi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 112 per 100.000
Meskipun  terjadi penurunan AKI dari tahun ke tahun, akan tetapi penurunannya tidak terlalu signifakn. Perhatikan perubahan dari tahun 1992-1994, penurunannya hanya 35 poin, dan tahun 1995-1997 penurunannya sebanyak 39 poin. Malah tahun 2002-2003 hanya mengalami penurunan sebanyak 27 poin dari AKI tahun 1997. Penurunan AKI per 100.000
kelahiran hidup berjalan lambat.




2.3  Faktor Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI)
Masalah kesehatan dan mortalitas sangat erat hubungannya dengan Angka Kematian Ibu (AKI) atau lebih dikenal dengan istilah maternal mortality (kematian maternal). Kematian maternal adalah kematian perempuan hamil atau kematian dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa mempertimbangkan umur dan jenis kehamilan sebagai komplikasi persalinan atau nifas, dengan penyebab terkait atau diperberat oleh kehamilan dan menajemen kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan
Tiga faktor utama penyebab kematian ibu di Indonesia adalah:
1.      Faktor medis (langsung dan tidak langsung)
2.      Faktor sistem pelayanan (sistem pelayanan antenatal, sistem pelayanan persalinan dan sistem pelayanan pasca persalinan dan pelayanan kesehatan anak)
3.      Faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat (kurangnya pengenalan masalah, terlambatnya proses pengambilan keputusan, kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, pengarusutamaan gender, dan peran masyarakat dalam kesehatan ibu dan anak) .
Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam penurunan Angka Kematian Ibu adalah peningkatan keterjangkauan (akses) dan kualitas pelayanan kesehatan maternal dan peningkatan kualitas pelayanan pada saat dan pasca persalinan (13% kematian martenal disebabkan oleh aborsi dan di dunia terjadi 55000 kali aborsi setiap harinya, 95% diantaranya terjadi di negara berkembang).
            Kematian ibu di rumah sakit disebabkan karena banyaknya kasus kegawat-daruratan pada kehamilan, persalinan dan nifas. Penyebab langsung kematian ibu yang terbanyak adalah: perdarahan, hipertensi pada kehamilan, partus macet, infeksi dan komplikasi aborsi.
            Persalinan di rumah dan ditolong oleh dukun, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masih tingginya AKI di Indonesia. Data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas kesehatan 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2%, ujar Menkes.
          Kondisi tersebut masih diperberat dengan adanya faktor risiko 3 Terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat merujuk/ transportasi dan terlambat menangani dan 4 Terlalu yaitu melahirkan terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun) dan terlalu banyak (lebih dari 4 kali).
          Faktor penyebab tingginya angka kematian ibu diantaranya disebabkan belum adanya kesadaran dari berbagai elemen -elemen masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu, tidak terpenuhinya kebutuhan akan pelayanan kesehatan atau terbatasnya tempat pelayanan kesehatan, juga letak geografis daerah yang sukar di jangkau oleh tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan, disamping perbedaan latar belakang kondisi ekonomi, sosial budaya di daerah tersebut. Disamping itu, lemahnya dukungan dan perhatian pemerintah daerah setempat terhadap kaum perempuan turut mempengaruhi tingginya angka kematian ibu di daerah tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan serta program-program yang dikeluarkan, serta minimnya dana yang dikeluarkan untuk kesehatan ibu atau untuk menekan angka kematian ibu.
          Faktor penyebab lainnya adalah hubungan tidak harmonis antara dukun tradisional dan bidan desa, sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap persalinan atau proses kelahiran harus ditangani oleh bidan desa atau dokter. Dukun di desa yang sebelumnya memegang peranan penting dalam proses kelahiran di daerah yang sulit dijangkau harus mengikuti anjuran dari pemerintah. Namun, karena terbatasnya tenaga medis (bidan desa serta dokter) serta medan geografis yang sulit dijangkau membuat tenaga medis tidak bisa segera memberikan bantuan persalinan ibu yang akan melahirkan. Hal tersebut mengakibatkan kondisi ibu yang akan melahirkan kritis dan akhirnya proses kelahiran kembali ditangani oleh dukun tradisional, yang notabene tinggal berdekatan dengan pasien.Akibatnya timbul asumsi pada masyarakat bahwa tingginya angka kematian ibu disebabkan karena tindakan dukun tradisional dalam proses persalinan, bukan karena keterlambatan penanganan dalam proses kelahiran.
          Minimnya atau tebatasnya tempat pelayanan kesehatan juga mempengaruhi tingkat angka kematian ibu di yang cukup tinggi. Masalah tersebut timbul disebabkan banyaknya lokasi yang sulit dijangkau dan juga kurangnya tenaga medis terlatih untuk menangani masalah – masalah kesehatan terutama pertolongan ibu yang akan melahirkan. Hal ini turut didukung dengan kurangnya penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan ibu (kurangnya pemberian materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi/KIE) sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan ibu, seperti pengetahuan akan masa sebelum kehamilan, saat hamil, atau paska persalinan, atau pentingnya asupan gizi bagi ibu hamil.
Masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan tingginya angka kematian ibu, menurut data dari Depertemen Pendidikan Nasional 2002/2003 menyebutkan bahwa angka buta aksara di daerah tersebut adalah sebanyak 108 untuk laki-laki dan 900 untuk perempuan. Faktor ketidakmampuan membaca dan menulis tersebut turut mengakibatkan kurangnya informasi atau pengetahuan yang di dapat oleh masyarakat provinsi tersebut.
Banyak ditemukannnya kasus ketidaksetaraan gender di masyarakat, membuat perempuan menjadi nomor dua dan laki-laki yang berkuasa. Membuat perempuan hanya bisa menerima dan menurut saja. Mengakibatkan timbul tindak kekerasan terhadap perempuan, perempuan tidak bisa melawan atau memiliki suara. Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan berbasis ketidakadilan gender yang terjadi pada masyarakat. Gerakan suami siaga (siap antar jaga) pun kurang mengubah keadaan, karena rendahnya tingkat partisipasi pria di daerah tersebut.
Faktor sosial budaya juga menjadi salah satu penyebab buruknya kondisi kesehatan dan gizi kaum perempuan. Kondisi kesehatan ibu dan anak bayi sangat buruk, tetapi tidak diperhatikan karena dinilai bukan kebutuhan mendesak.
Mungkin masih terdapat banyak faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat proses penurunan angka kematian ibu, maka diperlukan peran serta semua pihak untuk bisa menekan tingginya angka kematian ibu.
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia terbagi menjadi 5 yang diambil sample dari RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang dikaji oleh tim kinerja IGD RSCM bagian Obstetri-Ginekologi yaitu :
  1. Perdarahan. Perdarahan post partum dan masa nifas menjadi penyumbang no 1 penyumbang meningkatnya angka kematian ibu ini dengan 20-50 persen kematian disebabkan karena adanya perdarahan yang tidak terkontrol.
  2. Eklamsia. Tanda-tanda eklamsia harus pula diketahui untuk mencegah kematian ibu pula. Bagi sahabat yang ingin mengetahui secara lengkap mengenai eklamsia bisa
  3. Sepsis. Pengertian sepsis terutama sepsis karena kehamilan (sepsis maternal) adalah infeksi bakteri yang parah yang terjadi di uterus (rahim) dan terjadi beberapa hari setelah melahirkan. Bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Group A Streptococcus (GAS).
  4. Infeksi. Proses infeksi ini masuk dalam penyebab tidak langsung penyebab kematian. Infeksi ini biasanya berupa malariatuberkulosis dan hepatitis.
  5. Gagal Paru. Gagal paru merupakan kegagalan pernapasan akut yang berisiko tinggi menimbulkan kematian. Penyebabnya karena embolisme paru (pulmonary embolism) yang terjadi setelah proses persalinan
2.4  Upaya dan  Pencegahan Angka Kematian Ibu (AKI)
            Penyebab kematian ibu dapat berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kehamilan, dan umumnya terdapat sebab utama yang mendasari. Dalam upaya memudahkan identifikasi kematian ibu, WHO telah menetapkan sejumlah sistem klasifikasi kematian ibu. Dengan adanya sistem ini, diharapkan akan meningkatkan kewaspadaan, perencanaan tindakan, dan pada akhirnya akan menurunkan angka kematian ibu
            Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, Kementerian Kesehatan menetapkan lima strategi operasional yaitu :
1.      penguatan Puskesmas dan jaringannya; penguatan manajemen program dan sistem rujukannya
2.      Meningkatkan peran serta masyarakat
3.      Kerjasama dan kemitraan
4.      Kegiatan akselerasi dan inovasi tahun 2011
5.      Penelitian dan pengembangan inovasi yang terkoordinir
Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam paparan yang berjudul “Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Kesehatan Dalam Rangka Penurunan Angka Kematian Ibu” kepada para peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana di kantor BKKBN Jakarta, 26 Januari 2011.
            Menkes menambahkan terkait strategi keempat yaitu kegiatan akselerasi dan inovasi tahun 2011, upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan yaitu :
1.      Kerjasama dengan sektor terkait dan pemerintah daerah telah menindaklanjuti Inpres no. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional dan Inpres No. 3 tahun 2010 Tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan melalui kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan advokasi terkait percepatan pencapaian MDGs. Akhir tahun 2011, diharapkan propinsi dan kabupaten/kota telah selesai menyusun Rencana Aksi Daerah dalam percepatan pencapaian MDGs yaitu mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.
2.      Pemberian Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), mulai tahun 2011 setiap Puskesmas mendapat BOK, yang besarnya bervariasi dari Rp 75 juta sampai 250 juta per tahun. Dengan adanya BOK, pelayanan “outreach” di luar gedung terutama pelayanan KIA-KB dapat lebih mendekati masyarakat yang membutuhkan.
3.      Menetapkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) berupa indikator komposit (status kesehatan, perilaku, lingkungan dan akses pelayanan kesehatan) yang digunakan untuk menetapkan kabupaten/kota yang mempunyai masalah kesehatan. Ada 130 kab/kota yang ditetapkan sebagai DBK yang tahun ini akan didampingi dan difasilitasi Kementerian Kesehatan.
4.      Penempatan tenaga strategis (dokter dan bidan) dan penyediaan fasilitas kesehatan di Daerah Terpencil, Perbatasan, Kepulauan (DTPK), termasuk dokter plus, “mobile team”.
5.      Akan diluncurkan 2 Peraturan Menteri Kesehatan terkait dengan standar pelayan KB berkualitas, sebagaimana diamanatkan UU no 52 tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
            Selain itu menurut Menkes, pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan akan meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang mencakup pemeriksaan kehamilan, pelayanan persalinan, nifas, KB pasca persalianan, dan neonatus. Melalui program ini, persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan meningkat, demikian pula dengan pemberian ASI dini, perawatan bayi baru lahir, pelayanan nifas dan KB pasca persalinan.
Selain itu penurunan angka kematian ibu dapat dilakukan :
1.      Pada masa sebelum masa kehamilan, yaitu perilaku sehat termasuk nutrisi, aktivitas fisik, perawatan sebelum konsepsi, menghindari substansi yang membahayakan alat reproduksi
2.      Perencanaan masa kehamilan, yaitu dengan perawatan kehamilan awal yang berkualitas, pengetahuan gejala dan timbulnya tanda munculnya masalah
3.      Pada masa persalinan yaitu melakukan persalinan yang sehat, persalinan disaat yang tepat dengan intervensi minimal, serta bantuan pada pasca persalinan yang disertai penyuluhan serta pemeliharaan kualitas kesehatan lingkungan.
            Sasaran Jampersal adalah 2,8 juta ibu bersalin yang selama ini belum terjangkau oleh jaminan persalinan dari Jamkesmas, Jamkesda dan asuransi kesehatan lainnya. Ruang lingkupnya adalah : pelayanan persalianan tingkat pertama, tingkat lanjutan, dan persiapan rujukan di fasilitas kesehatan Pemerintah dan Swasta. Kelompok inilah yang akan ditanggung Jampersal. Pelayanan yang dijamin melalui Jampersal yaitu: pemeriksaan kehamilan 4 kali, pertolongan persalinan normal dan dengan komplikasi, pemeriksaan nifas 3 kali termasuk pelayanan neonatus dan KB paska persalinan, pelayanan rujukan ibu/bayi baru lahir ke fasilitas kesehatan lebih mampu.
            Menurut Menkes terkait strategi penguatan Puskesmas dan jaringannya dilakukan dengan menyediakan paket pelayanan kesehatan reproduksi (kespro) esensial yang dapat menjangkau dan dijangkau oleh seluruh masyarakat, meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yaitu: Kesehatan ibu dan bayi baru lahir, KB, kespro remaja, Pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS; dan mengintegrasikan pelayanan kespro dengan pelayanan kesehatan lainnya yaitu dengan program gizi, penyakit menular dan tidak menular.
            Yang berperan terhadap  kematian ibu maternal adalah IBU Bidan, Keluarga Ibu hamil dan Dukun, seperti yang terlihat pada gambar diatas. Ketiga komponen atau unsur ini posisinya sangat lemah. Keluarga ibu hamil  baik kaya maupun miskin  walaupun di pengaruhi dan mempengaruhi oleh bidan dan dukun, apabila tidak di difasilitasi/didukung oleh komponen yang ada disekitar misalnya keluarga dekatnya, tetangganya maupun orang-orang yang pedulinya terhadapnya, sangatlah beresiko terjadinya pilihan yang tidak tepat dalam pelayanan  keperawatan kehamilan/persalinan/nifas yang mengakibatkan kematian ibu.
Bidan senior maupun yunior, profesional maupun baru belajar profesional,  dalam memberikan pelayanan mempengaruhi maupun di pengaruhi ibu hamil atau keluarganya maupun melalui dukun yang sekarang dikenal dengan kemitraan bidan dan dukun, apabila tidak difasilitasi/didukung oleh komponen-komponen disekitarnya misalnya, masyarakat yang ada disekitarnya, bidan sesamanya maupun orang-orang yang peduli terhadap keberadaan bidan, sangatlah beresiko terjadi kelalaian yang mengakibatkan kematian ibu.
Dukun, terlatih maupun tidak terlatih, bermitra  maupun tidak bermitra, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keluarga ibu hamil dan  bidan, apabila tidak difasilitasi/dukung oleh komponen-komponen disekitarnya semisal masyarakat di sekitarnya terutama tokoh masyarakat, tokoh agama dan orang-orang yang peduli  terhadap keberadaan dukun, sangatlah beresiko terjadinya kesalahan pelayanan  dan perawatan kehamilan/persalinan/nifas yang mengakibatkan kematian.
Dari gambaran ketiga unsur ini, bidan  walaupun dia profesional, keluarga walaupun dia kaya, dukun walaupun dia telah bermitra dan terlatih, kematian tetap akan terjadi, karena ketiga  komponen atau unsur yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi diatas dalam posisi yang lemah pada pelayanan kesehatan maternal komunitas.
Faktor-faktor diluar dari ketiga komponen atau unsur tersebut  sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan maternal (ibu hamil, persalinan dan nifas). Faktor-faktor inilah yang tidak berkembang (bukan tidak ada).
Sistem pelayanan yang dilakukan oleh bidan sendiri (mandiri-profesional) masih dalam posisi yang tetap lemah, karena ia bekerja dalam lingkup komunitas  yang setiap saat selalu berubah, tidak seperti pelayanan bidan yang telah baku dalam suatu institusi semisal klinik bersalin.
Diperlukan fasilitasi dan dukungan yang utuh dari ketiga unsur bidan, ibu hamil dan dukun dalam menjalin kehamilan dan persalinan serta nifas yang aman serta bayi yang dilahirkan normal dan sehat. Fasilitasi dan dukungan itu berupa tenaga yang dapat masuk ketiga unsur seperti gambar dibawah ini. Itu juga sarana pelayanan yang bidan kembangkan  tidak akan bisa memenuhi standar APN (Asuhan Persalinan Normal) karena ia berada di rumah, bahkan di poskesdes sekalipun, karena  sekali lagi di pengaruhi lingkungan komunitas yang setiap saat selalu berubah, setiap keluarga ibu hamil, bidan maupun dukun ketika berinteraksi  mempunyai masalah yang berbeda-beda.
Tenaga ini sebagai fasilitator, sebagai seorang motivator, seorang MANAJER dalam pengembangan masyarakat bidang kesehatan, khususnya tenaga yang mampu  menjamin kehamilan, persalinan yang aman, dan bayi normal dan sehat, masyarakat difungsikan, masyarakat dimotivasi, dan akhirnya masyarakat atau komponen/unsur  yang seharusnya peduli kepada ibu hamil, bidan dan dukun dapat berbuat (aktif) lebih banyak untuk menurunkan kematian ibu.
Fasilitator ini, yang juga sebagai seorang manajer, akan bekerja  dengan bidan, ibu hamil dan  juga dukun, pada saat tertentu yang terjadwal melakukan pertemuan, bukan satu dua kali tapi sampai masalahnya bisa terpecahkan, menfasilitasi bidan, mengfasilitasi ibu hamil dan keluarganya dan menfasilitasi peran dukun. Kemudian mencoba melibatkan masyarakat, menfungsikan masyarakat bahkan memotivasi masyarakat untuk bisa terlibat langsung dengan  bidan, keluarga ibu hamil dan dukun.  Intinya fasilitator disini adalah mempermuda bidan, ibu hamil dan dukun, dengan sumber daya yang ada disekitarnya yaitu masyarakat dapat difungsikan (over behavior bukan cover behavior) dan masyarakat termotivasi (over motivation bukan cover motivation).
2.5  Gerakan Sayang Ibu
       Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan upaya untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi dan merupakan gerakan masyarakat bekerja sama dengan pemerintah. Dengan demikian, yang dimaksud dengan GSI adalah suatu gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan perbaikan kualitas hidup perempuan (sebagai sumber daya manusia) melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya penurunan angka kematian ibu karena hamil,melahirkan, dan nifas, serta kematian bayi. GSI yang kegiatannya ditunjang oleh Tim Pokja dan Tim Satgas GSI diarahkan agar mampu mendorong masyarakat untuk berperan aktif dan mengembangkan potensinya dengan melahirkan ide-ide kreatif dalam melaksanakan GSI di daerahnya.
Kegiatan-kegiatanya antara lain:
1.      Melaksanakan pendataan ibu hamil, memberikan kode-kode tertentu untuk memberi tanda bagi ibu hamil beresiko tinggi (tanda biru), untuk yang normal diberi tanda kuning. Ini pertama kali dikembangkan di Sumatera Selatan, lalu dikembangkan di daerah lain.
2.      Melaksanakan kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi), melalui pengajian dan penyuluhan bagi calon pengantin, bisa juga dikembangkan dalam bentuk nyanyian, tarian, operet, puisi sayang ibu. Hendaknya juga didukung oleh para Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Petugas Depag, Dinas Kesehatan dan sebagainya.
3.      Menyediakan Pondok Sayang Ibu. Ide ini pertama kali dicetuskan di Lampung.
4.      Menggalang Dana Bersalin (Arlin) dari masyarakat sebagai bentuk kepedulian.
5.      Menggalang sumbangan donor darah untuk membantu persalinan.
6.      Menyediakan Ambulans Desa, bisa berupa becak, mobil roda empat milik warga yang dipinjamkan.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain sebagainya.
Tiga faktor utama penyebab kematian ibu di Indonesia adalah:
1.      Faktor medis (langsung dan tidak langsung),
2.      Faktor sistem pelayanan.
3.      Faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat.
Upaya penurunan angka kematian ibu dapat dilakukan :
1.      Pada masa sebelum masa kehamilan, yaitu perilaku sehat termasuk nutrisi, aktivitas fisik, perawatan sebelum konsepsi, menghindari substansi yang membahayakan alat reproduksi,
2.      Perencanaan masa kehamilan, yaitu dengan perawatan kehamilan awal yang berkualitas, pengetahuan gejala dan timbulnya tanda munculnya masalah
3.      Pada masa persalinan yaitu melakukan persalinan yang sehat, persalinan disaat yang tepat dengan intervensi minimal, serta bantuan pada pasca persalinan yang disertai penyuluhan serta pemeliharaan kualitas kesehatan lingkungan.

3.2  Saran
Untuk menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi diperlukan peran serta semua pihak, langkah-langkah yang dapat diambil diantaranya adalah:
1.      Memberikan KIE kepada setiap elemen masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan penurunan angka kematian ibu
2.      Menambah dan melatih tenaga-tenaga kesehatan agar bisa membantu pengentasan masalah kesehatan khususnya membantu dalam proses persalinan ibu
3.      Memberikan pelatihan kepada dukun tradisional dan mengikutsertakan dukun tradisional pada sistem rujukan dalam proses persalinan ibu melahirkan sehingga proses persalinan ibu dapat ditangani oleh tenaga-tenaga professional
4.      Perlu ditingkatkannya akses pada sarana dan pelayanan kesehatan sehingga dapat menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil
5.      Mengubah paradigma masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan peran serta para ibu dalam proses menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan.















DAFTAR PUSTAKA

Sudarwan Danim, Darwis. Metode Penelitian Kebidanan. Jakarta : EGC, 2002
Syafrudin, SKM & Esty Wahyuningsih. Kebidanan komunitas. Jakarta : EGC, 2007
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-newsslider/1387-lima-strategi-operasional-turunkan-angka-kematian-ibu.html (diakses), 10.17, 1 Juni 2011.
http://faozangea.blogspot.com/2009/11/faktor-faktor-yang mempengaruhi.html (diakses), 10.12, 1 Juni 2011.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1802456-empat-faktor penyebab-kematian-ibu/ (diakses), 10.18, 1 Juni 2011.
http://arali2008.wordpress.com/2010/05/28/tiga-unsur-utama-penyebab-langsung-kematian-ibu/(diakses), 10.25, 1 Juni 2011.
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/450/450/1/2/ (diakses), 10.28, 1 Juni 2011